My Wedd My Life
Begitulah setiap orang seharusnya memiliki keinginan,
namun berbeda dengan kisahku, yang hanya memimpikan hal tersebut dalam
angan-angan.
Islam adalah sebuah agama yang
memiliki sistem yang khas dan unik yang berbeda dengan sistem yang lainnya.
Dalam kaitannya dengan pengaturan hubungan pria dan wanita di dalam masyarakat
Islam, syariat Islam telah menetapkan satu aturan yang khas yang dibangun atas
dasar keimanan terhadap aqidah Islam. Karena itu memahami aturan Islam tentang
pengaturan hubungan pria-wanita dalam masyarakatnya harus dilakukan dengan
pemahaman apa adanya, tanpa mengukurnya dengan kebiasaan, tradisi, atau adat
istiadat di tempat manapun dan sistem apapun.
Masyarakat pada umumnya menganggap bahwa memilih dan
memilah calon pasangan hidupnya adalah dengan berpacaran. Seakan dengan
berpacaran merupakan cara yang mutlak dilakukan agar menemukan pasangan hidup
yang benar-benar baik nantinya. Namun,dalam hal itu kami berbeda pandangan. Kami
melakukan proses ta’aruf yang kami anggap hal tersebut sebagai proses
perkenalan yang baik dan sedikit tidak kaku dalam menghadapi masyarakat yang
kurang menanggapi proses tersebut sebagai cara yang baik. Ta’aruf berbeda dengan
berpacaran, ta’aruf tidak berpegangan tangan, tidak berciuman, tidak
berhubungan seks sebelum menikah, tidak say kata-kata sayang dan semacamnya dan
tidak jalan bareng berduaan. Itu semua yang kami lakukan walau berat bagi kami,
kerena ini merupakan hal yang pertama bagiku, sedang calon suami waktu itu, proses
ini bukan kali pertama baginya.
Waktu perkenalan kami cukup
singkat, hanya 1 bulan saja. Setelah itu dilanjutkan proses khitbah dan
menentukan tanggal pernikahan. Karena beberapa sebab pernikahan kami
dilaksanakan 1,5 tahun setelah proses khtibah tersebut. Walau sebenarnya kami
juga agak kecewa sih, hihi. Tapi ku anggap waktu 1,5 tahun untuk memantaskan
diri lebih baik lagi dan banyak belajar menghadapi segala kewajiban yang akan
dilaksanakan. Dalam rentang waktu yang dibilang lama ya cepat, cepat tapi lama
itu kami banyak mencatat hal-hal dari diri masing-masing. Walau pada
kenyataannya catatan tersebut tidak seberapa membantu bagi kehidupan rumah tangga
kami, karena sedikit demi sedikit di dalam rumah tangga pasti memaksa sifat
buruk kita keluar satu persatu, membongkar aib-aib yang telah lama kita simpan,
hingga pelan-pelan kita sadar kita tak punya apa-apa lagi untuk disembunyikan. Ya
begitulah berumah tangga.
Ingat perkataan Salim A. Fillah,
“pernikahan adalah proses saling mengenal tanpa akhir. Dalam proses saling
mengenal itu, tentu ada hal yang menyenangkan ada yang tidak. Ada yang
membanggakan ada yang tidak. Sehingga proses saling mengenal yang tak didahului
oleh kesiapan untuk menerima hanya akan melahirkan perasaan kecewa, yang jika
ditumpuk lama-lama akan sangat berbahaya”. Dari situ muncul pemikiran bagaimana
dengan proses pacaran? Justru dengan pacaran lah kita selalu mendapati calon
pasangan kita hanya yang baik-baik saja. Seakan akan dialah manusia sempurna
yang diciptakan Tuhan untuk hidup kita kelak. Pacaran malah menutup rapat
keburukan-keburukan pasangan kita karena yang ditonjolkan hanya kesempurnaan
yang dimiliki masing-masing. Berbeda dengan ta’aruf, kita diperbolehkan untuk
menanyakan keburukan-keburukan, masa lalu dan hal apa yang membuat dia tidak
suka kepada orang terdekatnya semisal orang tuanya, saudaranya atau
teman-temannya.
Akhirnya, tepat pada
tanggal 14 Februari 2014, akhirnya kami melangsungkan akad nikah di Masjid
Manarul Sawojajar-Malang dan dihadiri saudara dan teman-teman. Saat itu babe
menjadi wali dariku dan menikahkanku dengan pria yang sholeh yang sudah kukenal
dengan baik. Sayangnya, dalam akad nikah tidak ada satupun temanku yang
terdekat hadir disitu untuk turut mendoakan T.T. memang bukan tanpa alasan
tidak mengundang teman-teman secara pribadi. *tear* Dalam acara pernikahan
tersebut dari pihak wanita tidak mengadakan acara besar-besaran, setelah akad
nikah berlangsung malam harinya hanya diadakan pengajian kecil-kecilan mengundang
50 0rang tetangga saja. Ingat kata Rosul SAW “Adakanlah walimah, meski hanya dengan satu ekor kambing.” Jadi keluarga
kami tetap mengadakan acara walau hanya pengajian dan makan-makan meski
sederhana namun Rosul tetap menganjurkan adanya pesta.
Sedihnya
tetangga sekitar menganggap bahwa mempelai wanita ini sudah mengalami MBA alias
married by accident T.T karena menikah di usia 20 tahun. Bayangkan saja,
kami hanya berkenalan dengan jarang bertatap muka saja masih ada orang yang su’udzon
dengan kami. Bagaimana dengan yang jelas-jelas berpacaran? Dunia ini sudah
dibutakan.
Keesokan
harinya, kami bersiap siap menuju gedung Sasana Krida UM Malang guna diadakan
acara unduh mantu yang dibalut dengan acara resepsi. Ya, acara tersebut
diadakan oleh pihak laki-laki. Dalam acara tersebut, semua tamu undangan hadir.
Dari pihak wanita hanya 4 orang terdekat yang hadir dari 5 yang disebar. Selebihnya
hadir para saudara pihak laki-laki, saudara pihak wanita, teman-teman kantor
ortu dan teman-teman pengajian yang sedikit banyak mendominasi acara tersebut.
Pada
acara resepsi ini kami mengonsep tatanan ruangan dengan memisah antara mempelai
wanita dan laki-laki, memisah tamu wanita dan laki-laki. Ini yang disebut dangan
hijab atau tabir dalam walimah. Karena mempelai wanita ber-tabarruj
(berhias/bersolek) maka perlu diberikan hijab/tabir dan mayoritas semua
keluarga juga bersolek dan berhias maka sangat dianjurkan untuk dihijab.
Kemudian
untuk menjamu tamu dengan makanan dan proses ramah tamah juga seyogyanya tamu
laki-laki dan wanita juga dipisah karena kita dianjurkan untuk tidak ikhtilat
yakni bercampur baur antara laki-laki dan wanita di suatu tempat.
Segenap
rangkaian acara pun berakhir, hingga akhirnya kami pun benar-benar menjalani
kehidupan rumah tangga yang sesungguhnya. Jika kemarin masih satu atap dengan
ortu kini kami sudah harus mandiri dan berusaha sendiri tanpa meminta sokongan
dari ortu. Banyak hal telah terjadi di kehidupan kami selama berumah tangga
kurang lebih 2 tahun hingga kami memiliki seorang putra. Seperti yang sudah ada
di my wedding #1, bahwa tidak selalu kehidupan rumah tangga seperti kisah
Cinderella, setelah menikah lalu hidup secara bahagia selamanya tanpa kendala. Pasti
ada saja masalah, baik perbedaan dan perdebatan. Tergantung dari kita
masing-masing yang menjalankan dan mau menerima segala kekurangannya.
Lalu
ada yang mengatakan, “toh dengan ta’aruf tidak menjamin kehidupan rumah tangga
akan berjalan mulus dan baik-baik saja, buktinya masih ada cekcok?”. Baik pacaran
maupun ta’aruf tidak menjamin bahwa kehidupan yang akan dijalani akan berjalan
mulus, hanya saja kalau sebuah pernikahan diawali dengan berpacaran maka Alloh
SWT tidak menyukai hal tersebut dan bisa jadi Alloh murka terhadap pernikahan
tersebut. Apalagi ditambah acara pernikahan yang ikhtilat/ campur baur. Oleh sebab
itu, kita anggap saja setiap permasalahan yang dihadapi itu sebagai cara menebus
dosa-dosa yang kita perbuat di masa lampau.
Dari
semua yang sudah ku jalani ini, pengalaman ku entah itu baik atau buruk namun
ku jadikan itu semua sebagai pengalaman yang berharga. Diriku yang penuh dosa
ini hanya berpesan kepada siapapun yang hendak menikah: “Daripada kita habiskan
waktu bertahun-tahun untuk saling mengenal, padahal itu tidak menjamin apa-apa
kecuali peluang untuk melakukan dosa, lebih baik kita membangun kesiapan untuk
menerima. Sehingga siapa pun yang kelak menjadi teman kita dalam membina rumah
tangga, apakah kita sudah begitu mengenalnya atau baru sekadar tahu nama, ia
akan bahagia karena kesediaan kita menerima ketidaksempurnaanya. Bahwa di dalam
diri kita ada jiwa yang begitu lapang, yang siap menampung berbagai cerita,
mimpi, amarah, keluh, kesah, luka dan air mata”
Demikianlah
al fakir bercerita sepenggal kisah ini, moga dapat memotivasi semua.