Kamis, 17 Maret 2016

Wonderful Me #1 (bagian 1)

Hidup itu bagaikan roda yang berputar. Adakalanya hidup berada di atas, adakalanya hidup berada di bawah. Adakalanya susah, adakalanya senang. Adakalanya kaya, adakalanya miskin. Adakalanya sehat, adakalanya sakit. Adakalanya lapar, adakalanya kenyang. Adakalanya jatuh cinta, adakalanya putus cinta. Begitulah roda kehidupan berputar, tanpa memandang siapa yang akan mengalami dan siapa yang akan merasakannya.
*********************************************************************************



Anita Pricillia Damayanti, lebih akrab disapa Nita. Lahir di Boyolali 11 Desember 1993. Kota yang orang sering bilang “bajul kesupen” yang artinya “buaya lupa” ini selalu membuat saya rindu dengan kota ini. Walau berudara panas dan kering namun kota dengan segenap ke-ndesoan nya ini tetap menjadi kenangan. Boyolali yang dulunya merupakan kabupaten/ karesidenan yang sekarang sering dibilang Kab. Surakarta/ Solo adalah tempat tinggal nenek kami. Konon katanya, rumah nenek kami itu sudah turun temurun sejak kakek dan nenek buyut saya ada atau biasa disebut "rumah pepunden". Suasananya cukup mencekam di malam hari (maklum walau lahir pada tengah malam tapi saya tipe orang yang penakut akan hal-hal yang mengerikan). Rumah tersebut cukup luas, ruang tamunya saja 5m x 4m, ruang sebelah ruang tamu juga cukup luas kira-kira sangat cukup untuk bersantai santai menghabiskan masa liburan hari raya Idul Fitri selama kurang lebih 2 minggu disana. Jika ke Kota Solo jangan lupa untuk menikmati Mie Ayam nya yang super duper uenaak, makanan favorit saya ketika berada di kota ini selain Mie Ayam adalah Nopia sejenis bakpia, ada Intip yakni makanan yang berasal dari nasi yang mengintip (mengerak di dasar panci), dijemur kemudian digoreng lalu diberi baluran gula merah cair dan masih banyak jajanan ndeso yang lain yang jarang ditemui di kota lain. Kalau sudah mencicipi kulinernya tidak lupa juga untuk mampir ke Pasar Klewer untuk belanja kain kain batik, daster batik (kesukaan ibu ibu), kerajinan khas Solo dan masih banyak lagi fashion wear disana. Sayangnya, sempat beberapa waktu lalu, Pasar Klewer terjadi kebakaran. Huhu, semoga tidak terdapat perubahan banyak disana, karena suasananya dulu sangat khas dengan kota Solonya. Kab. Solo ini dulunya pada saat saya lahir, masih bernama Boyolali, saat ini daerah Boyolali juga masih ada hanya saja dimana tempat saya lahir sudah tidak termasuk daerah Boyolali lagi. Kota ini juga merupakan penghasil susu sapi, mungkin cukup bisa menyaingi daerah Pujon, Kota Batu hihi. Ingat dengan sebutan Susu Mbok Darmi, asli lho dari Boyolali? Ini bukti bahwa susu dari Kota Boyolali ini sangat terkenal. Dan ikon hewan buaya menjadi sekedar meme saja mengingat yang paling menonjol adalah susu sapi, dan tentunya si sapi lah yang nampang di saat kita memasuki kawasan, daerah/ kota ini.

          Kota ini mengingatkan kami akan kenangan yang membekas. Ibu saya Renani P.C, akrab disapa Reni yang melahirkan saya di  rumah milik mbah saya. Tepat tanggal 11 Desember 1993, malam hari pukul 1.00 (sebenernya ini termasuk tanggal 12, tapi terlanjur ditulis oleh Kantor Pencatatan Sipil Surakarta waktu di tanggal 11 Desember, hehe) berlokasi di kamar depan, lahirlah seorang putri yang lucu, berkulit putih dan berbobot 3,3 kg dengan selamat. Dengan bantuan Dukun Beranak kala itu, ibu saya melahirkan saya dengan susah payah dan kesakitan. Kalau sudah mengingat kisah ini, jadi terharu. Menyesal rasanya kalau sering membantah perintah ibu, hehe. Baru nyadar sekarang!


Alhamdulillah bayi tersebut hingga saat ini masih sehat wal afiat tanpa kurang satu apapun. Memulai kehidupan bersekolah di Kota Malang mengikuti tempat tinggal ayah pada umur 5 tahun di TK Kartika-V, membuat saya kebingungan. Ketika umur saya 6 tahun, seharusnya saya melanjutkan ke jenjang TK B, hanya saja, saya memohon orang tua saya untuk melanjutkan ke sekolah tingkat dasar I karena bosan dengan suasana taman kanak-kanak. Dasar anak kecil, akhirnya permintaan tersebut di-iyakan oleh orang tua saya. Akhirnya saya bersekolah di SD Negeri Bunulrejo 11 daerah Ngujil, Malang. Pada awalnya terasa biasa saja, saya bersekolah layaknya murid-murid pada umunya. Bedanya adalah, saya sama sekali nggak bisa mengikuti pelajaran yang diajarkan oleh guru di sekolah dibanding yang lainnya, mengingat kemampuan otak saya belum sampai pada tingkat sekolah dasar, yang mana di usia saya pada saat itu masih senang-senangnya bermain di ayunan dan prosotan. Tapi otak saya dipaksakan untuk sekolah dasar. Alhasil, yang menakjubkan nilai semua mata pelajaran saya selalu dapat bebek alias angka 2. Waktu itu sih, saya berpikir “gue kok b*go amat yah?” apa cuman segini kemampuan otak gue? Hahaha. Namun, uniknya saya tetap naik ke kelas 2 walau dengan nilai yang pas-pas an. Ortu gemes sekali dengan hal itu, lucunya saya diulangkan kembali di kelas 1 dengan harapan kemampuan otak saya bisa sesuai dengan usianya. SD Negeri Bunulrejo 9 adalah tujuan kami saat itu. Masih satu kompleks hanya beda nama dan lokasi dengan sebelumnya. 

       Nasib saya bersekolah di SD Negeri 9 tersebut akhirnya telah sampai pada penghujung kelulusan. Saya mendapat nilai NUN (nilai ujian nasional) pada saat itu cukup memuaskan. Alhamdulillah batin saya..

Kemudian, saya melanjutkan ke SMP Negeri 21 Malang, entah apa yang membuat saya memilih sekolah tersebut akan tetapi yang jelas lokasinya berdekatan dengan rumah kami di Perumahan Sawojajar. Mengingat, saya dan keluarga (ibu, ayah, 1 kakak perempuan, 2 adik) merupakan kontraktor sejati, alias tempat tinggal ngontrak dan pindah-pindah sampai menjelajahi kota Malang ini. 

         Dan tentunya pilihan sekolah saya yang selanjutnya juga diluar dugaan, yakni SMK Negeri 3 Malang dengan memilih jurusan pendidikan Tata Boga program studi Jasa Boga. Alasannya, saya bingung harus sekolah dimana kala itu, namun mendapat sedikit inspirasi dari tante yang memiliki catering yang lumayan besar. Hanya saja, pilihan tersebut didasari oleh nafsu belaka. Pasalnya, masuk jurusan Jasa Boga (baca: masak memasak) tidak semudah yang dibayangkan. Kita harus memulai dari berbagai teori yang bikin pusiiing baru deh mulai pratek masak memasak. Dan, dapat dibayangkan bagaimana pusingnya ortu kala itu ketika mendapati anaknya telah memilih pilihan yang kurang sesuai dengan hati nuraninya, hehe. Apakah ini sebuah penyesalan? oh tidak, ternyata saya tidak patah arang. Pilihan ini memang keliru, tapi bukan berarti saya harus mundur. Akhirnya saya memilih kelas Wirausaha sebagai tujuan selanjutnya agar ilmu yang didapat lebih bermanfaat. Konon katanya, kelas Wirausaha  ini  merupakan kelas yang istimewa, spesial pake telor dan paling unggul dibanding yang lainnya. Untuk bisa masuk ke kelas istimewa ini saya harus melalui berbagai tes juga, tidak sembarangan murid dapat lolos tes tersebut. Kuota tersedia hanya 24 orang beruntung, dan akhirnya saya termasuk yang beruntung di dalamnya. Mungkin kemampuan jualan dan jiwa marketing saya telah tumbuh kala itu. 


       Kelas Wirausaha tak semulus dipandang dari kulitnya. Ternyata penuh dengan seabrek laporan keuangan, laporan penjualan, omzet, dll. yang tentunya ini dapat dikategorikan sebagai pengerjaan Tugas Akhir.  Kami dibimbing untuk mampu menjual produk orisinil kami kepada customer. Omzet yang ditargetkan juga lumayan besar untuk ukuran anak masih sekolah. Susah payah kami merancang itu semua, disambi jerit malam setiap hari, dan disambi belajar untuk Ujian Nasional, kami dengan segenap kemampuan akhirnya bisa menghadapi semua. Dengan bimbingan dosen UM Pak Agung Winarno, akhirnya selesai juga tugas tersebut. Anita resmi menjadi seorang entrepreneur kelas Gold, terpampang di sertifikat kelulusan, yeeeey.. 



































0 komentar:

Posting Komentar

 
The Digital Me Blogger Template by Ipietoon Blogger Template